Ada salah satu film 90an yang menjadi favoritku saat ini, cerita pria tua menyendiri yang sehari harinya menjual produk rokok, cerutu dan lainnya, tempat milik bos-nya. Pria ini sudah terbiasa hidup sendiri, ditinggal mantan istri-nya yang menyakiti hati-nya, tapi dia sudah terbiasa menikmati hidupnya.
Nama film-nya Smoke
Ada satu adegan yang benar benar melekat di pikiran ku, si pria tua ini punya hobi fotografer yang sudah lama dia enjoy, adegan ini dia membawa temannya ngajak hangout di rumahnya, salah satu pelanggan kenalannya, pria tua ini menunjukkan foto album yang isinya foto-nya sama, setiap pagi dia selalu motret toko-nya.
Teman-nya bingung kenapa selalu foto yang sama, pria tua menjawab "Coba kamu perhatikan baik baik, walau foto-nya sama, tapi momen yang tertangkap berbeda beda." terus dia menyampaikan sesuatu kepada temannya "Kadang kamu harus slow untuk melihat sesuatu yang tak kelihatan sebelumnya." dengan senyumnya sambil menikmati beer dan rokoknya "Ya slow.."
Aku pikir ni orang di film udah nemukan kebahagiaan, durasi satu jam, sang pria tua tahu cara membahagiakan dirinya, walau ada konflik, masalah ujian tak terduga yang mereka hadapi. Ini film 90an, gak ada istilah cara menemukan kebahagiaan, dari karakter karakter di film ini pun belum tentu dapat pemasukkan bulanan, jauh merasakan sukses secara proteksi material, namun dari aktivitas mereka dari karakter film Smoke, sukses menjalani hidup bahagia, terutama pak pria tua tersebut.
Ku cerminkan dengan kehidupan modern yang kita jalani bersama saat ini, kebahagiaan bisa saja lebih kompleks dari masa film 90an Smoke.
Ada orang yang bahagia karena mampu beli iPhone, ada orang yang bahagia bisa makan enak nasi Padang dalam sekali sebulan. Jadi aku rasa bahagia ga ada standar untuk jadi bahagia.
Aku penasaran juga dengan istilah "Healing" di sosmed. Orang bilang ini bisa menemukan kebahagiaannya.
Caption-nya ga jauh dari "Healing", naik pesawat lagi berasa di atas awan, upload setelah arrival, caption nya "healing", lagi di pantai Bali duduk duduk pakai kacamata kawe super asli-nya, caption nya "healing". Mungkin ini yang bikin industri traveling semakin maju, karena "healing" jadi fondasi kuat untuk membuat anak muda sekarang cenderung bayar ke experience demi konten dan caption "healing".
Tapi itu ternyata lebih kompleks dari dugaan ku, kalau kamu melihat teman mu di sosmed, yang merasa dirinya paling bahagia saat menuju dunia fantasi yang mereka dambakan, kadang kita sendiri jadi-nya minder, iri bahkan dengki. Dan yang merasa paling bahagia, hanya bahagia di atas konten, belum tentu itu bisa menjamin masa depannya.
Orang yang seneng healing itu cenderung masyarakat kalangan menengah ke atas, karena mereka sudah punya segala-nya, mereka bisa spending di experience dan traveling dan ingin membuat experience indah, sosial media adalah perantara paling efektif menunjukkannya.
Mungkin saja healing dibalik tujuannya sebenarnya bukan healing, tapi sekedar menunjukkan kalau kamu lagi healing. Makanya kamu menyebutnya healing.
Jadi cara bahagia, dari era zaman perang sampai di era TikTok, ga ada yang berubah sebenarnya.
Bedanya, orang lebih menunjukkan cara bahagia-nya kepada orang lain, terima kasih karena sosial media dan era sharing.
Mereka yang healing pergi jauh kemana mungkin karena mereka ga dapet bahagia di tempat asalnya atau mereka punya ego sendiri, demi bahagia.
Masih banyak orang di luar sana, demi mencari nafkah sehari harinya, tapi mereka sudah nemukan kebahagiaannya.
Misal, disambut Istri dari pulang kantor, ngumpul ngopi dengan teman teman sekolah, nonton TV dengan keluarga, bahkan memberikan rezeki kepada ibu sendiri, kamu gak akan nyangka perasaan apa senang dalam diri kita, itu bahagia yang kita ga sadari selama ini membuat kita bahagia, kadang hal kecil yang kita sering jalani bisa aja membuat bahagia.
Biasa sering aku baca di Internet, sosmed seperti TikTok juga pengaruh ke mental kita, apalagi kalangan muda, toxic dan istilahnya, bacaan riset dari orang barat berkata demikian. Tapi untuk kasus orang Indonesia, aku sedikit meragukan, justru menurutku orang Indonesia lebih banyak lihat benefitnya. Ya tapi kalau soal validasi dari likes, subscribe dan followers, itu bener bener yang perlu kita prihatinkan.
Pengguna TikTok kalau sudah dapet kepuasan dari views-nya, trending, mereka saja sudah bahagia, puas, berarti orang menerima video creator ini. Tapi jika kebalikannya, ada dua pilihan, tetap maju atau memilih pesimis, kita diombang ambing.
Jadi karena TikTok termasuk ketergantungan kita untuk mengisi waktu kosong, kebahagiaan sementara, menahan rasa kesepian, sampai ada cewe pernah ngomong begini "Aku kalau udah bisa lihat TikTok tiap malam udah seneng".
Mungkin kebahagiaan tidak bisa diartikan selain orang itu sendiri yang merasakan.
Referensi:
Sorry, millennials: Not everyone is happier spending money on experiences over stuff
🙏🙏🙏
Thanks for reads, hope you enjoyed it, sharing this article on your favorite social media network would be highly appreciated 💖! Sawernya juga boleh
Published
